LINGKAR NEWS – Islamophobia untuk kebijakan global adalah isu terorisme sedangkan di ruang nasional di samping terorisme juga radikalisme dan intoleransi.
Dunia sudah menghentikan program Islamophobia yang diawali adanya UU penghapusan Islamophobia Amerika kemudian Resolusi PBB “International Day to Combat Islamophobia”.
Maka sewajarnya Indonesia juga menghentikan isu radikalisme dan intoleransi karena isu sangat menyakiti umat Islam.
Islamophobia memiliki berbagai wajah atau bentuk. Di samping penodaan atau penistaan agama juga kriminalisasi ulama dan aktivis Islam.
Wajah lain adalah pembiaran atau pengembangan faham sesat yang mengganggu dan merusak agama Islam. Tentu saja isu terorisme, radikalisme dan intoleransi juga disematkan pada umat.
Moderasi beragama sebagai antisipasi dari radikalisme dan intoleransi menjadi bagian tak terpisahkan dari program Islamophobia tersebut.
Berprasangka bahwa agama sebagai sumber terorisme, radikalisme dan intoleransi adalah persoalan serius bangsa.
Berasumsi bahwa umat Islam telah terpapar oleh faham radikalisme dan intoleransi, karenanya harus ditangkal dengan program moderasi beragama, merupakan sikap berlebihan.
Apalagi disebutkan tingkat keterpaparan hingga anak-anak TK.
Moderasi beragama tidak mutatis mutandis dengan “ummatan wasathan” atau wasathiyah sebab makna ayat yang berkaitan dengan hal itu konteksnya adalah keteladanan dan keunggulan umat.
Bukan umat yang tidak kesana sini atau di tengah tanpa pendirian. Narasi gramatika QS Al Baqarah 143 menunjukkan keteladanan dan keunggulan tersebut.
Tidak terhubung dengan moderasi atau anti radikalisme. Belum lagi batasan radikalisme yang masih bias. Berbeda dengan terorisme yang berbasis UU.
Umat Islam yang memiliki keimanan kuat, bertahkim pada syari’at dan berakhlakul karimah dengan merujuk pada sunnah Nabi, bukanlah orang yang radikal sebagaimana dimaknai secara politis dan negatif.
Seseorang akan menjadi baik dan toleran jika memahami dan menggenggam agama dengan kokoh. Apalagi utuh atau kaaffah.
Moderasi beragama yang disalah-arahkan akan beririsan dengan de-Islamisasi dan lebih jauhnya de-Qur’anisasi. Disinilah Islamophobia menjadi sangat berbahaya.
Umat Islam nantinya dianjurkan bahkan dilarang untuk membaca dan menyampaikan ayat-ayat “radikal dan intoleran” seperti kafir, jihad, qital, qishash, khilafah dan sejenisnya.
Berbagai pernyataan baik yang disampaikan oleh pemangku kekuasaan, cendekiawan, maupun buzzer alias badut Istana bahwa di Indonesia tidak ada Islamophobia adalah benar sepanjang yang dimaksud adalah seharusnya (das sollen).
Akan tetapi jika yang dimaknai itu adalah kenyataan (das sein) maka hal itu bagai jarak langit dan bumi. Indonesia adalah negara kaya. Kaya Islamophobia.
Ketika PBB telah mencanangkan hari dunia untuk melawan Islamophobia, maka saatnya kita semua teriak untuk Indonesia tercinta : Stop Islamophobia !
Teriak dan bergerak bersama dalam perjuangan melawan Islamophobia.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan.***