LINGKAR NEWS – Kepada seorang Yahudi pun pemimpin Islam pada zamannya memberi rasa keadilan.
Sehingga sebidang tanah yang dikuasai oleh umat Islam kala itu dikembalikan kepada seorang Yahudi yang menggugat haknya. Demikianlah pemimpin Islam yang amanah bila memimpin.
Ribuan tahun kemudian setelah peristiwa pada zaman khalifah Umar di atas, terjadi hal yang sama atas hak menuntut keadilan di ruang sidang, saat seorang HRS mengungkapkan doanya agar peristiwa terbunuhnya 6 orang pemuda di Km. 50 diusut tuntas.
Sebenarnya bukan hanya HRS, demi penegakan hukum yang berkeadilan perlu rakyat mendorong Polri kembali usut tragedi pembunuhan beberapa laskar FPI di KM 50.
Modus peristiwa yang terjadi terhadap 6 orang pemuda itu terlihat sama seperti kasus pembunuhan Brigadir J.
Minimalis terlihat pada keenam korban yang dituduh melawan petugas dan bukti-bukti luka pada tubuh korban yang mirip sebuah penyiksaan.
Menurut kami, insiden KM 50 juga menyedot perhatian publik. Sehingga agar equality before the Law, maka kasus tersebut hendaknya diperlukan perhatian yang sama.
Semua warga negara di negeri ini harusnya diperlakukan sama di depan hukum. Tidak melihat ia seorang polisi atau seorang sipil biasa.
Penggusutan kematian Brigadir J sebagai momentum untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polisi.
Ini juga untuk melanjutkan komitmen Kapolri untuk usut tuntas kasus KM 50 terkait unlawful killing terhadap beberapa laskar FPI, sesuai yang dilaporkan oleh Komnas HAM.
Bila tidak, dikuatirkan kekacauan hukum akan terjadi di negeri ini.
Aparat penegak hukum (APH) bila melakukan pelanggaran hukum maka akan meruntuhkan sendi Negara Indonesia yang berdasarkan hukum.
Kami menilai, proses penanganan kasus kematian Brigadir J tersebut memang terkesan dramatis. Selain memakan waktu lama juga proses tersebut penuh dalih yang kontroversial dan artifisial.
Penanganan kasus kematian Brigadir J terkesan sangat berhati-hati karena mungkin sensitif dan bisa membuka kotak pandora penegakan hukum selama ini yang menyimpan banyak misteri.
Sudah menjadi opini umum bahwa selama di Indonesia hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas; penegakan hukum mengusik rasa keadilan sebagian masyarakat. Bukan mustahil penegakan hukum tak luput dari mafia.
Bila menyinggung keberadaan satuan tugas khusus (Satgassus) di tubuh Polri terkesan menjadi superbody karena rentan terhadap keinginan mafia hukum.
Kesannya berbahaya karena dapat menghalangi penegakan keadilan dan membuka jalan bagi kezaliman—lawan dari keadilan.
Sebaiknya Satgassus semacam itu bukan hanya dibubarkan karena tidak diperlukan.
Tapi perlu diaudit atas permintaan Komisi III. Ada dugaan bahwa Satgassus ini berhubungan dengan kasus pelanggaran hukum.
Seperti pembunuhan anggota Laskar FPI, praktik judi online, dan pembunuhan Brigadir J itu sungguh menyedihkan.
Kalau itu nanti terbukti maka akan merupakan malapetaka nasional.
Keberadaan semacam Satgassus di tubuh Polri setelah Irjen Ferdy Sambo jadi tersangka perlu ditinjau kembali.
Apa saja program, proyek, dan dari mana dana dan kemana saja dana yang ada di Satgassus dipakai patut dipertanyakan.
Sebaiknya, kepolisian cukup di bawah sebuah departemen atau kementerian. Atau disatukan kembali seperti saat Orba berkuasa.
Dan, yang perlu dihindari jangan sampai Kepolisian Negara menjadi semacam superbody yang represif dan menjadi alat kepentingan politik—bukan alat negara—dan tidak tersentuh hukum itu sendiri.
Sangat ditunggu political will dari Presiden Joko Widodo, dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Slogan PRESISI apakah sudah berjalan.
Zaman kini yang serba menuntut keterbukaan akan sulit membuat dalih sebagaimana yang dilakukan oleh Irjenpol Ferdy Sambo.
Opini: Suta Widhya SH, Pengacara.***