LINGKAR NEWS – Pengemudi Ojol sudah sangat dominan menjadi pilihan terakhir bagi para pencari kerja dan korban PHK.
Jumlah pengemudi ojol makin lama makin besar sejak kenaikan harga BBM.
Mereka mencoba bertahan hidup banyak diantara mereka dulunya berstatus kelas menengah dan sekarang mereka masuk kelompok miskin.
Namun tidak juga mendapatkan bantuan BLT maupun BSU senilai total Rp24,17 Triliun karena masih dianggap kelas menengah.
Para pengemudi online tersebut tentunya harus diperhatikan juga dan perlu mendapatkan perlindungan dan pengaturan yang lebih komprehensif berupa regulasi pemerintah.
Hal ini penting untuk bisa menjamin kesejahteraan para pengemudi ojol dan menjadikan ojol sebagai profesi yang mampu menghidupi keluarga secara layak.
Dikutip dari Tempo.co, Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia Igun Wicaksono menilai keengganan perusahaan aplikator ojol untuk menurunkan biaya komisi telah menunjukan sikap yang arogan terhadap aturan pemerintah.
Menurutnya hal Ini membuktikan bahwa pemerintah pun tidak berdaya untuk bertindak tegas kepada perusahaan-perusahaan aplikator yang ada saat ini.
Igun menyampaikan yang intinya alasan klise yang selalu digunakan oleh pemerintah maupun aplikator dalam hal pemotongank omisi pada pengemudi ojol bahwa keadaan perusahaan yang belum memperoleh keuntungan.
Sementara perusahaan aplikator telah berhasil mencapai posisi unicorn dengan nilai valuasi perusahaan melebihi US$ 1 miliar.
Hal tersebut membuat alasan yang diberiktan oleh perusahaan startup dengan level unicorn masih membela diri dengan belum benefit adalah bualan kapitalis saja bagi kami sebagai asosiasi.
Di sisi lain, sikap pemerintah yang selalu membanggakan perusahaan aplikasi jasa transportasi daring telah membuat pengemudi tidak berdaya.
Terlebih, para pengemudi ojol masih dibiarkan berstatus ilegal dan dibuat status quo.
Ia menduga hal itu agar pengemudi tidak dapat melakukan perlawanan ataupun pembelaan secara hukum kepada aplikator apabila terjadi sengketa dalam industri digital ini.
Menurut Igun biaya aplikasi maksimal 10 persen adalah harga mati bagi para pengemudi ojol saat ini. Hal itu tidak dapat ditawar lagi.
Dan dia pun menegaskan bahwa Asosiasi pun akan terus melakukan protes secara massal di seluruh Indonesia hingga tuntutan para pengemudi dapat dipenuhi oleh pemerintah maupun perusahaan aplikator.
Tentu kondisi-kondisi tidak adanya jaring pengaman (safety net) akan beresiko menimbulkan people unrest ditengah banyak persoalan yang harus dihadapi oleh pemerintah.
Jika pemerintah tidak menyentuh lebih dalam melalui regulasi yang berpihak orang kecil maka akan ada resiko terjadinya pemotongan-pemotongan komisi.
Dengan nilai yang tidak fair yang dilakukan oleh Aplikator Ojol. Ini tentunya sangat mempengaruhi kesejahteraan para pengemudi Ojol.
Harus ingat bahwa kenaikan BBM telah menyudutkan rakyat kepada kondisi menderita (suffering).
Untuk itu pemerintah harus dirasakan kehadirannya sehingga pengemudi ojol sebagai bagian dari masyarakat merasa diperhatikan.
Dengan adanya kenaikan komisi oleh Aplikator dan kenaikan tarif Ojol pun hanya cukup untuk menutupi kebutuhan BBM.
Sementara kondisi tersebut membuat para pengemudi ojol tetap kesulitan menghadapi kenaikan harga-harga lainnya sebagai imbas kenaikan BBM.
Belum lagi dampak kenaikan tarif ojol membuat pelanggan berkurang. Akhirnya nasib pengemudi ojol sudah jatuh ketipa tangga pula.
Dalam hal ini DPR sebagai wakil rakyat juga harus bisa ambil peranan agar nasib para pengemudi ojol ini tidak terseok-seok oleh keadaan, tapi bisa menjadi sumber penghidupan yang layak bagi masyarakat.
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute.***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Lingkarnews.com, semoga bermanfaat.