LINGKAR NEWS – Jika melihat situasi saat ini kita dapat melihat keputusasaan publik terhadap kondisi yang tengah terjadi. Semua serba susah, harga-harga serba naik.
Media-media dipenuhi oleh berita buruk, korupsi, kriminal, APBN jebol, harga-harga naik, aksi Sambo yang ga habis-habis dibicarakan dan lain-lain.
Pengelola negara seolah-olah bekerja keras, gagah di awal, tapi hasilnya zonk.
Karena salah orientasi, salah tata kelola, dan keberpihakkan bukan kepada rakyat.
Penegakkan hukum makin buruk, ekonomi makin terpuruk, kekayaan alam dinikmati asing dan segelintir oligarki. Adakah yang tersisa?
Memang aneh posisi DPR saat ini apakah benar-benar mewakili rakyat menjadi pertanyaan publik. Bagaimana tidak, banyak
Undang-Undang yang dibuat tidak melibatkan publik sebagaimana mestinya dan UU tersebut malah ditentang mayoritas publik.
Banyak kebijakan-kebijakan presiden yang ditolak rakyat tapi DPR seolah-olah menjadi bumper pemerintah.
Bukan yang memperjuangkan aspirasi rakyat tersebut, seperti halnya kenaikan BBM ini.
Saat rakyat resah dan protes, DPR malah merayakan ulang tahun sang ketua.
Bagaimana mungkin publik bisa menaruh harapan ke institusi ini jika tidak sinkron dengan aspirasi publik.
Tidak heran jika saat ini publik menilai bahwa sebagian besar DPR saat ini bekerja bukan untuk rakyat, melainkan untuk kepentingan para oligarki.
Sebut saja UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law dan lain-lain yang serba kilat tanpa melibatkan aspirasi publik secara luas.
Publik yang sudah putus harapan dengan DPR akhirnya menggunakan petisi online dan surat terbuka sebagai pilihan terakhir agar aspirasinya bisa di dengar.
Itupun bagaikan anjing menggonggong kapilah berlalu. Narasi sebagus dan sekuat apapun karena ada kepentingan lain dari pemerintah menjadikan protes publik ini dianggap angin lalu.
Jika kondisinya seperti ini negara sudah menyianyiakan triliunan anggaran untuk pemilihan umum karena orang-orang terpilih tidak bekerja untuk rakyat, tapi hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja.
Apakah gegap gempit pemilu yang akan datang menghasilkan hal yang zonk lagi?
Itu pertanyaan publik yang hanya bisa dijawab oleh orang-orang terpilih nanti.
Opini: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute.***